kasih sayang |
Menurut
kamus umum bahasa Indonesia karangan W.J.S.Porwadarminta, kasih sayang
adalah perasaan sayang, perasaan cinta atau perasaan suka kepada
seseorang.Apabila suatu hubungan cinta diakhiri dengan sebuah pernikahan
maka hal ini akan menimbulkan perasaan yang lebh dewasa lagi dan juga
menuntut agar suatu hubungan tersebut lebih bertanggung jawab, perasaan
inilah yang disebut dengan kasih sayang, mengasihi, atau saling
menumpahkan kasih sayang.
di bawah ini adalah contoh cerita cinta kasih manusia kepada hewan :
Contoh cerita :
Tiga hari yang lalu kartu pos ini tiba di apartemenku. Tidak banyak beritanya, hanya sebuah pesan singkat yang dikirim adikku. “Ibu sakit keras dan ingin sekali bertemu kakak. Kalau kakak tidak ingin menyesal, pulanglah meski sebentar,kak”. Aku mengeluh perlahan membuang sesal yang bertumpuk di dada.
Kartu pos ini dikirim Asih setelah beberapa kali ia menelponku tapi
aku tak begitu menggubris ceritanya. Mungkin ia bosan, hingga akhirnya
hanya kartu ini yang dikirimnya. Ah, waktu seperti bergerak lamban,
aku ingin segera tiba di rumah, tiba-tiba rinduku pada ibu tak tertahan. Tuhan, beri aku waktu, aku tak ingin menyesal.
sudah selama 20 tahun aku tinggal
di jepang mengikuti suamiku yang memang tinggal di jepang,aku bertemu
suamiku pada saat ia tinggal di jogja menyelesaikan proyek yang ada di
sana,Masih tergambar jelas dalam ingatanku wajah ibu yang menjadi
murung ketika aku mengungkapkan rencana pernikahan itu. Ibu meragukan
kebahagiaanku kelak menikah dengan pria asing. Karena tentu saja
begitu banyak perbedaan budaya yang ada diantara kami, dan tentu saja
ibu sedih karena aku harus berpisah dengan keluarga untuk mengikuti Emura. Saat itu aku berkeras dan tak terlalu menggubris kekhawatiran ibu.
Pada
akhirnya memang benar kata ibu, tidak mudah menjadi istri orang
asing. Di awal pernikahan begitu banyak pengorbanan yang harus aku
keluarkan dalam rangka adaptasi, demi keutuhan rumah tangga. Hampir
saja biduk rumah tangga tak bisa kami pertahankan. Ketika semua hampir
karam, Ibu membantu kami dengan nasehat-nasehatnya. Akhirnya kami
memang bisa sejalan. Emura juga pada dasarnya baik dan penyayang,
tidak banyak tuntutan.
Namun
ada satu kecemasan ibu yang tak terelakkan, perpisahan. Sejak menikah
aku mengikuti Emura ke negaranya. Aku sendiri memang sangat kesepian
diawal masa jauh dari keluarga, terutama ibu, tapi kesibukan mengurus
rumah tangga mengalihkan perasaanku. Ketika anak-anak beranjak remaja,
aku juga mulai bekerja untuk membunuh waktu.
Aku
tersentak ketika mendengar pemberitahuan kereta Narita Expres yang
aku tunggu akan segera tiba. Waktu seperti terus memburu, sementara
dingin semakin membuatku menggigil. Sesaat setelah melompat ke dalam
kereta aku bernafas lega. Udara hangat dalam kereta mencairkan sedikit
kedinginanku. Tidak semua kursi terisi di kereta ini dan hampir semua
penumpang terlihat tidur. Setelah menemukan nomor kursi dan
melonggarkan ikatan syal tebal yang melilit di leher, aku merebahkan
tubuh yang penat dan berharap bisa tidur sejenak seperti mereka. Tapi
ternyata tidak, kenangan masa lalu yang terputus tadi mendadak kembali
berputar dalam ingatanku.
Ibu..ya betapa kusadari kini
sudah hampir empat tahun aku tak bertemu dengannya. Di tengah
kesibukan, waktuterasa cepat sekali berputar. Terakhir ketika aku
pulang menemani puteriku, Rikako dan Yuka, liburan musim panas. Hanya
dua minggu di sana, itupun aku masih disibukkan dengan urusan kantor
yang cabangnya ada di Jakarta.
Selama ini aku pikir ibu cukup bahagia dengan uang kiriman ku yang
teratur setiap bulan. Selama ini aku pikir materi cukup untuk
menggantikan semuanya. Mendadak mataku terasa panas, ada perih yang
menyesakkan dadaku. “Aku pulang bu, maafkan keteledoranku selama ini”
bisikku perlahan.
Cahaya matahari pagi meremang. Kereta api yang melesat cepat seperti peluru,masih
terasa lamban untukku. Betapa masih jauh jarak yang terentang. Aku
menatap ke luar. Salju yang masih saja turun menghalangi pandanganku.
Tumpukan salju memutihkan segenap penjuru. Tiba-tiba aku teringat Yuka
puteri sulungku yang duduk di bangku SMA kelas dua. Bisa dikatakan ia
tak berbeda dengan remaja lainnya di Jepang ini. Meski tak terjerumus
sepenuhnya pada kehidupan bebas remaja kota besar, tapi Yuka sangat
ekspresif dan semaunya. Tak jarang kami berbeda pendapat tentang
banyak hal, tentang norma-norma pergaulan atau bagaimana sopan santun
terhadap orang tua.
Aku
sering protes kalau Yuka pergi lama dengan teman-temannya tanpa idzin
padaku atau papanya. Karena aku dibuat menderita dan gelisah tak
karuan dibuatnya. Terus terang kehidupan remaja Jepang yang kian bebas
membuatku khawatir sekali. Tapi menurut Yuka hal itu biasa, pamit
atau selalu lapor padaku dimana dia berada, menurutnya membuat ia
stres saja. Ia ingin aku mempercayainya dan memberikan
kebebasan padanya. Menurutnya ia akan menjaga diri dengan
sebaik-baiknya. Untuk menghindari pertengkaran semakin hebat, aku
mengalah meski akhirnya sering memendam gelisah.
Riko
juga begitu, sering ia tak menggubris nasehatku, asyik dengan urusan
sekolah dan teman-temannya. Papanya tak banyak komentar. Dia sempat
bilang mungkin itu karena kesalahanku juga yang kurang menyediakan
waktu buat mereka karena kesibukan bekerja. Mereka jadi seperti tidak
membutuhkan mamanya. Tapi aku berdalih justru aku bekerja karena sepi
di rumah akibat anak-anak yang berangkat dewasa dan jarang di rumah.
Dulupun aku bekerja ketika si bungsu Riko telah menamatkan SD nya.
Namun memang dalam hati ku akui, aku kurang bisa membagi waktu antara
kerja dan keluarga.
Melihat
anak-anak yang cenderung semaunya, aku frustasi juga, tapi akhirnya
aku alihkan dengan semakin menenggelamkan diri dalam kesibukan kerja.
Aku jadi teringat masa remajaku. Betapa ku ingat kini, diantara ke
lima anak ibu, hanya aku yang paling sering tidak mengikuti
anjurannya. Aku menyesal. Sekarang aku bisa merasakan bagaimana
perasaan ibu ketika aku mengabaikan kata-katanya, tentu sama dengan
sedih yang aku rasakan ketika Yuka jatau Riko juga sering
mengabaikanku. Sekarang aku menyadari dan menyesali semuanya. Tentu
sikap kedua puteri ku adalah peringatan yang Allah berikan atas
keteledoranku dimasa lalu. Aku ingin mencium tangan ibu….
Di
luar salju semakin tebal, semakin aku tak bisa melihat pemandangan,
semua menjadi kabur tersaput butiran salju yang putih. Juga semakin
kabur oleh rinai air mataku.
Tergambar lagi dalam benakku, saat setiap sore ibu mengingatkan kami
kalau tidak pergi mengaji ke surau. Ibu sendiri sangat taat beribadah.
Melihat ibu khusu’ tahajud di tengah malam atau berkali-kali
mengkhatamkan alqur’an adalah pemandangan biasa buatku. Ah..teringat
ibu semakin tak tahan aku menanggung rindu. Entah sudah berapa kali
kutengok arloji dipergelangan tangan.
Akhirnya
setelah menyelesaikan semua urusan boarding-pass di bandara Narita,
aku harus bersabar lagi di pesawat. Tujuh jam perjalanan bukan waktu
yang sebentar buat yang sedang memburu waktu seperti aku. Senyum ibu
seperti terus mengikutiku. Syukurlah, Window-seat, no smoking
area, membuat aku sedikit bernafas lega, paling tidak untuk menutupi
kegelisahanku pada penumpang lain dan untuk berdzikir menghapus sesak
yang memenuhi dada. Melayang-layang di atas samudera fasifik sambil
berdzikir memohon ampunan-Nya membuat aku sedikit tenang. Gumpalan awan
putih di luar seperti gumpalan-gumpalan rindu pada ibu.
Yogya
belum banyak berubah. Semuanya masih seperti dulu ketika terakhir aku
meninggalkannya. Kembali ke Yogya seperti kembali ke masa lalu. Kota
ini memendam semua kenanganku. Melewati jalan-jalan yang dulu selalu
aku lalui, seperti menarikku ke masa-masa silam itu. Kota ini telah
membesarkanku, maka tak terbilang banyaknya kenangan didalamnya.
Terutama kenangan-kenangan manis bersama ibu yang selalu mewarnai
semua hari-hariku. Teringat itu, semakin tak sabar aku untuk bertemu
ibu.
Rumah
berhalaman besar itu seperti tidak lapuk dimakan waktu, rasanya masih
seperti ketika aku kecil dan berlari-lari diantara tanaman-tanaman itu,
tentu karena selama ini ibu rajin merawatnya. Namun ada satu yang
berubah, ibu…
Wajah
ibu masih teduh dan bijak seperti dulu, meski usia telah senja tapi
ibu tidak terlihat tua, hanya saja ibu terbaring lemah tidak berdaya,
tidak sesegar biasanya. Aku berlutut disisi pembaringannya, “Ibu…Rini
datang, bu..”, gemetar bibirku memanggilnya. Ku raih tangan ibu
perlahan dan mendekapnya didadaku. Ketika kucium tangannya, butiran
air mataku membasahinya. Perlahan mata ibu terbuka dan senyum ibu,
senyum yang aku rindu itu, mengukir di wajahnya. Setelah itu entah
berapa lama kami berpelukan melepas rindu. Ibu mengusap rambutku,
pipinya basah oleh air mata. Dari matanya aku tahu ibu juga menyimpan
derita yang sama, rindu pada anaknya yang telah sekian lama tidak
berjumpa. “Maafkan Rini, Bu..” ucapku berkali-kali, betapa kini aku
menyadari semua kekeliruanku selama ini.
kritik
: para remaja terlalu memikirkan percintaan di bandingkan pelajaran
yang menjadi tanggung jawab utama sebagai pelajar,dan tanggung jawab
berbakti sebagai anak kepada orang tua.
sumber :
http://rizkywulancils.blogspot.com/2011/05/pengertian-kasih-sayang.html
Jika menurut anda ini bermanfaat silahkan di share
Mohon kritik dan sarannya
0 komentar:
Posting Komentar